Filsafat Kepompong

    Author: Ghozali Saputra Genre: »
    Rating



    Hari ini mata kuliah jam kedua adalah Pengantar Ilmu Bahasa. Selama pembelajaran dosen ngoceh sana-sini bercerita tentang banyak hal. Mulai dari kelompok belajar sewaktu beliau masih menjadi mahasiswa, kemudian berbuah manis berupa beasiswa, sampai filsafat kepompong yang bermakna. Dosen satu ini memang hebat. Betapa tidak? Kami para mahasiswa ditanyai daerah asal kami satu-persatu. Surprisingly, beliau tau semua daerah asal kami. Hebatkan? Ya.

    Dari semua cerita yang beliau bahas siang tadi, ada satu cerita yang menurut saya cukup menarik. Yaitu, Filsafat Kepompong. Begini ceritanya. 


    Ada satu kepompong yang sudah hampir selesai masa jabatannya sebagai kepompong tulen. Sebentar lagi kupu-kupu kecil akan keluar melihat dunia yang mulai rapuh ini. Kupu-kupu kecil itu mulai menggerakkan tubuhnya. Ia berusaha keluar dari lubang kecil yang membungkus tubuhnya. Namun, ia tak bisa keluar. Berkali-kali ia mencoba tetap saja gagal. Sampai ada satu anak kecil yang mendekati kupu-kupu kecil yang masih terbungkus itu.

    Anak kecil itu merasa kasian pada si kupu-kupu. Lantas  ia kembali ke dalam rumah dan keluar sudah membawa gunting di tangannya. Tanpa pikir panjang anak tersebut menggunting lobangnya agar semakin lebar. Kupu-kupu kecil pun  bisa keluar. Tetapi, kupu-kupu kecil tersebut jatuh di tanah dan tak terbang. Anak kecil itu masih menunggui si kupu-kupu. Ternyata kupu-kupu kecil itu telah mati.

    Dari cerita di atas hikmah yang bisa kita petik adalah ketika kita menginginkan sesuatu maka, cara yang kita tempuh harus berbeda dengan sesuatu yang lainnya. Contoh katakanlah saya mempunyai keluarga. Ada dua anak laki-laki di rumah saya. Sebut saja A dan B. Si A ini saya besarkan bersama istri penuh kasih sayang yang tiada tara. Kemanapun ia minta selalu kita temani. Apapun yang ia mau selalu kita berikan. Tak ada kesempatan sedikit pun untuk si A ini menangis di depan kami. Kami memberikan kasih dan sayang sampai tumpah-ruah saking dimanjakannya.

    Sementara yang si B kami didik untuk lebih mandiri. Hal-hal yang mestinya bisa dikerjakan sendiri harus ia kerjakan sendiri. Permintaan yang kira-kira tidak penting, tidak akan kami beri. Kami hanya mengisyaratkan saja ketika ia salah melakukan sesuatu, bukan membenarkannya secara gamblang. Supaya ia berlatih berpikir. Agar ia biasa hidup mandiri.

    Nah, sekarang pertanyaannya adalah anak yang mana yang akan menjadi anak idaman Anda kelak? Tentu saja anak yang B bukan. Oleh karena itu, caranya pun berbeda dari kebiasaan Bapak dan Ibu mendidik anak mereka seperti mendidik si A. Didiklah dengan dengan metode si B agar anak-anak zaman sekarang tidak menjadi anak-anak yang manja. 

    “Dengan DALIH yang BERLEBIHAN akan MEMBUNUH karakter ANAK!” 

    Karena yang kita butuhkan pada era-globalisasi seperti ini adalah karakter putra-putri bangsa yang sempurna. Karakter yang penuh perjuangan. Karakter yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan sebagai bekal mensejahterakan rakyat Indonesia. Kita butuh prajurit-prajurit tangguh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dsb. Apakah karakter seperti anak A bisa diandalkan? Tentu tidak! Anak B adalah contoh paling tepat untuk mendidik karakter anak bangsa. Berjuanglah kawan! Merdekakanlah Indonesiamu ini. Salam Pena!