Hari ini mata kuliah jam kedua
adalah Pengantar Ilmu Bahasa. Selama pembelajaran dosen ngoceh sana-sini
bercerita tentang banyak hal. Mulai dari kelompok belajar sewaktu beliau masih
menjadi mahasiswa, kemudian berbuah manis berupa beasiswa, sampai filsafat
kepompong yang bermakna. Dosen satu ini memang hebat. Betapa tidak? Kami para
mahasiswa ditanyai daerah asal kami satu-persatu. Surprisingly, beliau tau semua daerah asal kami. Hebatkan? Ya.
Dari semua cerita yang beliau bahas
siang tadi, ada satu cerita yang menurut saya cukup menarik. Yaitu, Filsafat
Kepompong. Begini ceritanya.
Ada satu kepompong yang sudah hampir
selesai masa jabatannya sebagai kepompong tulen. Sebentar lagi kupu-kupu kecil akan
keluar melihat dunia yang mulai rapuh ini. Kupu-kupu kecil itu mulai
menggerakkan tubuhnya. Ia berusaha keluar dari lubang kecil yang membungkus
tubuhnya. Namun, ia tak bisa keluar. Berkali-kali ia mencoba tetap saja gagal.
Sampai ada satu anak kecil yang mendekati kupu-kupu kecil yang masih terbungkus
itu.
Anak kecil itu merasa kasian pada
si kupu-kupu. Lantas ia kembali ke dalam
rumah dan keluar sudah membawa gunting di tangannya. Tanpa pikir panjang anak
tersebut menggunting lobangnya agar semakin lebar. Kupu-kupu kecil pun bisa keluar. Tetapi, kupu-kupu kecil tersebut jatuh
di tanah dan tak terbang. Anak kecil itu masih menunggui si kupu-kupu. Ternyata
kupu-kupu kecil itu telah mati.
Dari cerita di atas hikmah yang
bisa kita petik adalah ketika kita menginginkan sesuatu maka, cara yang kita tempuh
harus berbeda dengan sesuatu yang lainnya. Contoh katakanlah saya mempunyai
keluarga. Ada dua anak laki-laki di rumah saya. Sebut saja A dan B. Si A ini
saya besarkan bersama istri penuh kasih sayang yang tiada tara. Kemanapun ia
minta selalu kita temani. Apapun yang ia mau selalu kita berikan. Tak ada
kesempatan sedikit pun untuk si A ini menangis di depan kami. Kami memberikan
kasih dan sayang sampai tumpah-ruah saking dimanjakannya.
Sementara yang si B kami didik
untuk lebih mandiri. Hal-hal yang mestinya bisa dikerjakan sendiri harus ia
kerjakan sendiri. Permintaan yang kira-kira tidak penting, tidak akan kami
beri. Kami hanya mengisyaratkan saja ketika ia salah melakukan sesuatu, bukan
membenarkannya secara gamblang. Supaya ia berlatih berpikir. Agar ia biasa
hidup mandiri.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah anak
yang mana yang akan menjadi anak idaman Anda kelak? Tentu saja anak yang B
bukan. Oleh karena itu, caranya pun berbeda dari kebiasaan Bapak dan Ibu
mendidik anak mereka seperti mendidik si A. Didiklah dengan dengan metode si B agar
anak-anak zaman sekarang tidak menjadi anak-anak yang manja.
“Dengan DALIH yang BERLEBIHAN akan
MEMBUNUH karakter ANAK!”
Karena yang kita butuhkan pada
era-globalisasi seperti ini adalah karakter putra-putri bangsa yang sempurna. Karakter
yang penuh perjuangan. Karakter yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dan ketuhanan sebagai bekal mensejahterakan rakyat Indonesia. Kita butuh
prajurit-prajurit tangguh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
dsb. Apakah karakter seperti anak A bisa diandalkan? Tentu tidak! Anak B adalah
contoh paling tepat untuk mendidik karakter anak bangsa. Berjuanglah kawan!
Merdekakanlah Indonesiamu ini. Salam Pena!
Posting Komentar