Karena Hujan

    Author: Ghozali Saputra Genre: »
    Rating



    Hari ini saya pulang dari sekolah karena hari minggu besok adalah salah satu hari besar bagi umat islam; Idhul Adha. Pukul 15.15 saya pinjam hp teman saya untuk menghubungi orang tua saya. Tak lupa setelah itu saya bilang terima kasih ke dia. Sore itu saya pulang bersama rekan saya; Dhanang. Mendung tebal serta hujan lebat menemani perjalanan kami. Kami naik bus harta sanjaya yang penuh dengan penumpang. Setelah sekitar 45 menit saya turun duluan di perempatan.
    Ketika saya turun, hujan masih saja belum reda, bahkan tambah lebat. Padahal, dari awal saya naik bus tadi saya berharap ketika saya sampai tempat tujuan, semoga hujannnya sudah reda, atau minimal gerimis. Apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain. Saya mempercepat langkah saya ketika saya turun dari bus itu. Saya menjadi totonan banyak orang yang lagi berteduh di warung kecil samping perempatan. Saya pun mencari tempat berteduh. Tak jauh dari warung kecil itu, saya melihat kemas-kemasan warung kaki lima. Saya pun memutuskan untuk berteduh disampingnya. Karena memang ada tempat yang cukup untuk berteduh, walaupun pada akhirnya saya basah kuyup juga. Ketika saya baru berdiri di tempat itu, saya merasa dipanggil-panggil. Saya tengok kebelakang nggak ada orang. Dua atau tiga kali malahan. Namun, saya tidak mendapati orang itu.
    Mulanya saya mengira saya sendirian. Ternyata ada dua orang dewasa yang juga berteduh di dalam gerbang depan sebuah ruko tua samping saya berteduh. Saya cukup khawatir kalau ada sesuatu yang enggak-enggak. Karena faktanya salah satu dari dua orang itu beramput acak kriting lusut merah-kecoklatan agak panjang dan diikat nggak karuan. Saya diminta untuk masuk ke dalam gerbang itu karena ia melihat celana panjang saya basah dan kotor. Ia kasihan melihat saya. Saya menolaknya dengan halus.
    Saya sudah mulai khawatir. Pikiran saya buyar kemana-mana. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu, bagaimana kalau...semua kalimat di dalam pikirannya saya berawal bagaimana kalau. Sampai saya keingat kejadian waktu saya di turki. Bagaimana kalau hal itu terjadi kembali?! Dengan segenap tenaga saya langsung menghilangkan pikiran-pikiran bodoh itu. Saya mencoba untuk menghilangkannya dengan menyanyi-nyanyi kecil. Alhamdulillah itu berhasil.
    Beberapa saat kemudian ia meminta saya untuk masuk kedalam gerbang itu lagi. Tetap saja saya tidak mau. Ia memulai pembicaraan. Mulai bertanya dari rumah saya dimana, habis dari mana, mau kemana, sampai tanya ada korek nggak sama saya. Waduh emangnya saya tampang anak remaja yang ngrokok.an ya mas?! Bisik batin saya. Lalu saya mulai berdoa semoga hujannnya cepat reda, bapak saya cepat kesini, tak ada hal yang negatif akan terjadi, dsb.
    Tak lama setelah itu, ada bapak-bapak keluar dari sebuah rumah kecil disamping ruko itu. Mas-mas dewasa itu lantas meminjam korek ke bapak-bapak itu. Ia merokok. Pura-pura saja saya tidak melihat kalau ia sedang merokok. Tetapi, ia dengan santainya menawari saya untuk merokok biar hangat, dan tidak usah takut sama dia. Tentu saja saya bilang tidak terima kasih. Terlintas di benak pikiran saya “oh, begini tha salah satu sebabnya anak jadi kenal merokok”.
    Saya mulai kembali memanjatkan doa. Ketika saya melihat ke permpatan yang tadi, tiba-tiba kakak saya muncul basah kuyup dengan sepeda motornya. Mungkin ia baru pulang kerja. Lantas saya menyetopnya. Dan meninggalkan tempat itu tanpa memerdulikan dua orang dewasa itu lagi.
    Saya pulang bersama kakak saya diiringi hujan yang begitu lebat. Tiap tetes airnya yang kena kulit terasa sakit. Saya tidak memakai helm. Setiap tetes air yang mengenai saya seperti jarum yang menusuk-nusuk. Sakit. Dingin. Terlintas di benak pikiran saya. “Mungkin begitu pula yang dirasakan orang tua saya sebagi petani. Atau mungkin lebih menyakitkan dari ini. Kadang kala terik panas matahari begitu menyengat. Namun, disisi lain kadang hujan seperti ini juga sangat menyakitkan. Sampai sebegitunya beliau berjuang untuk bisa menyuapi dan menyekolahkan anak-anaknya. Sering saya begitu durhaka ketika menyangkut masalah uang saku. Maafkanlah anakmu yang nakal ini.”
    Ketika saya sampai di rumah, tentu saja saya basah kuyup. Ibu saya bilang “nggak ketemu sama bapak mu?, dari jam tiga kurang seperempat tadi lho udah kesana.” Lantas saya bilang “enggak.i” dalam hati saya pasti orang yang manggil-manggil tadi adalah bapak saya. Maafkanlah anakmu yang nakal ini.

    4 Responses so far.

    1. alhamdulillah :)
      bersyukurlah karena orangtua kita masih ada dan masih berusaha keras untuk kita.
      tinggal kita berbakti kepadanya.
      ingat. banyak sekali orang tua yang meninggalkan anak-anaknya, menjual dan lain-lain
      so, bersyukurlah.
      good goj, keep writing ya :))

    2. tq bgt....yup! i'm trying. :)

    3. Unknown says:

      Ghozali jangan durhaka ya ini gua Sang pemenang OSEBI haha makanya jangan enak-enakkan terus goz goz

    4. hai teman2 aku akan memulai menulis lagi :)